Ekonom Kritik Penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa Jadi Menkeu, Pasar Ragukan Stabilitas Fiskal

Ekonom Kritik Penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa Jadi Menkeu, Pasar Ragukan Stabilitas Fiskal

RADARBANYUWANGI.IDaktifia.com Keputusan pemerintah menunjuk Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati langsung menuai perhatian dari kalangan ekonom dan pelaku pasar.

Salah satu kritik datang dari Ferry Latuhihin, ekonom sekaligus analis pasar modal senior. Ia menilai penunjukan Purbaya sebagai Menkeu baru tidak sejalan dengan ekspektasi pasar, bahkan berpotensi menambah ketidakpastian dalam pengelolaan fiskal Indonesia ke depan.

Ferry mengaku mengenal baik sosok Purbaya. Keduanya pernah sama-sama berkarier di Danareksa selama lebih dari dua dekade. Namun, pengalaman panjang tersebut justru membuatnya semakin yakin bahwa kapasitas Purbaya untuk mengemban jabatan Menteri Keuangan masih diragukan.

“Rekam jejak dan pernyataan beliau sering kali menimbulkan tanda tanya. Saya khawatir stabilitas fiskal akan semakin rapuh,” ujarnya.

Keraguan itu kian menguat ketika Purbaya menyampaikan pandangan optimistis bahwa ekonomi Indonesia mampu tumbuh 6–8 persen hanya dalam kurun tiga bulan ke depan. Ferry menilai proyeksi tersebut tidak realistis dan tidak memiliki dasar analisis yang kuat.

“Prediksi seperti itu tidak bisa hanya didasarkan pada optimisme. Kita harus melihat data dan kondisi riil. Justru yang terlihat sekarang adalah tekanan serius pada fundamental ekonomi kita,” tegasnya.

Lebih jauh, Ferry mengingatkan bahwa perekonomian Indonesia sedang menghadapi tantangan berat. Jika salah langkah, Indonesia bisa mengalami kondisi secular stagnation sebagaimana yang dialami Thailand dalam beberapa dekade terakhir.

Ia bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa dalam satu tahun ke depan Indonesia dapat terjerumus ke jurang resesi. “Ini bukan sekadar spekulasi. Jika penerimaan negara terus melemah dan belanja pemerintah salah arah, maka kontraksi ekonomi bisa benar-benar terjadi,” ungkap Ferry.

Menurut Ferry, situasi fiskal saat ini berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Di satu sisi, penerimaan negara menunjukkan tren penurunan. Di sisi lain, pemerintah tetap menjalankan berbagai program dengan belanja besar, yang justru dinilai kontraproduktif.

Ia menyoroti program besar seperti MBG yang disebutnya sebagai bentuk pemborosan hingga ratusan triliun rupiah. Program tersebut, kata Ferry, lebih banyak menyedot anggaran tanpa memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi maupun kesejahteraan masyarakat.

“Anggaran negara harusnya digunakan secara lebih produktif. Namun kenyataannya, belanja yang ada lebih banyak bersifat konsumtif,” kritiknya.

Ferry juga menyinggung peran Bank Indonesia (BI) dalam menopang beban fiskal pemerintah. Menurutnya, keterlibatan BI yang semakin besar dalam pembiayaan defisit APBN bisa memicu risiko serius bagi perekonomian.

Hal itu disebutnya sebagai bentuk praktik monetizing fiscal deficit, yakni pencetakan uang untuk menutup defisit anggaran. Ia menegaskan bahwa praktik ini berbahaya karena berpotensi menggerus independensi BI sebagai bank sentral.

“Bank sentral seharusnya menjaga stabilitas moneter, bukan terjebak menanggung beban fiskal. Jika hal ini terus dibiarkan, kredibilitas BI bisa runtuh,” tegas Ferry.

Lebih lanjut, Ferry menjelaskan bahwa pencetakan uang pada dasarnya masih dapat dibenarkan, tetapi hanya jika dialokasikan untuk proyek investasi produktif dengan tingkat pengembalian tinggi.

Sayangnya, menurut pengamatannya, dana hasil cetak uang saat ini justru lebih banyak dialirkan untuk program konsumtif. Hal itu membuat beban fiskal semakin berat tanpa ada jaminan pengembalian jangka panjang.

“Kalau digunakan untuk infrastruktur produktif yang bisa menghasilkan pertumbuhan, itu masih bisa diterima. Tetapi kalau habis untuk subsidi konsumtif, ini hanya akan menambah masalah,” tuturnya.

Ferry pun menyebut pernyataan optimistis Purbaya tidak lebih dari sekadar “janji manis” tanpa landasan nyata. Keyakinan Purbaya bahwa pelemahan rupiah dan IHSG hanya bersifat sementara dinilai terlalu sederhana dalam membaca kompleksitas situasi global dan domestik.

“Pernyataan seperti itu mungkin bisa menenangkan sesaat, tetapi pasar melihat data dan fakta. Tanpa kebijakan yang jelas, janji optimis tidak akan ada artinya,” kata Ferry.

Pada akhirnya, Ferry menegaskan bahwa ruang fiskal Indonesia saat ini sangat terbatas. Dengan defisit yang terus melebar, penurunan penerimaan, dan beban belanja besar, pemerintah memiliki ruang gerak yang sempit dalam mengatur kebijakan.

“Pemerintah harus berhati-hati. Jangan sampai keputusan yang diambil justru memperburuk keadaan. Optimisme boleh, tetapi harus realistis dan didukung data yang kuat,” pungkasnya.

Sementara itu, Purbaya tetap berpegang pada keyakinannya bahwa pelemahan ekonomi hanya bersifat sementara. Ia percaya fundamental Indonesia masih cukup kuat untuk mendukung pemulihan. Namun, keraguan yang disampaikan Ferry mencerminkan keresahan sebagian pelaku pasar terhadap arah kebijakan fiskal di bawah kepemimpinan Menkeu baru.