Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang berkembang secara turun-temurun dalam suatu komunitas. Dalam konteks masyarakat adat, kebudayaan menjadi pedoman hidup yang memuat nilai, norma, dan sistem sosial yang mengatur hubungan antarindividu maupun antarkelompok. Di antara berbagai bentuk kebudayaan yang masih lestari di Indonesia, Kenduri Sko di Sungai Penuh, Jambi, menempati posisi istimewa sebagai salah satu tradisi adat yang merepresentasikan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan leluhur.
Kenduri Sko adalah tradisi besar masyarakat 6 Luhah di Sungai Penuh yang telah diwariskan sejak masa nenek moyang. Tradisi ini dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur, pengukuhan struktur adat, serta ajang mempererat silaturahmi antarwarga. Setelah sempat terakhir digelar pada tahun 2007, masyarakat setempat bertekad untuk kembali melaksanakan Kenduri Sko pada tahun mendatang. Kembalinya tradisi ini bukan sekadar kegiatan seremonial, melainkan juga momentum penting untuk memperkuat identitas budaya lokal di tengah arus modernisasi yang kian cepat.
Latar Belakang dan Makna Filosofis

Secara etimologis, istilah Kenduri Sko berasal dari dua kata, yaitu kenduri yang berarti jamuan atau perayaan bersama, dan sko yang dalam bahasa adat Kerinci merujuk pada simbol kehormatan, pusaka, atau sistem adat yang diwariskan secara turun-temurun. Dengan demikian, Kenduri Sko dapat dimaknai sebagai perjamuan adat yang bertujuan mengukuhkan serta menghormati nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pusaka dan struktur adat masyarakat.
Tradisi ini dilaksanakan oleh masyarakat dari enam luhah, yaitu sekelompok wilayah adat yang saling terikat dalam hubungan genealogis dan sosial. Pelaksanaannya tidak hanya berfungsi sebagai ritus spiritual, tetapi juga sebagai wadah rekonsiliasi sosial dan pendidikan budaya. Dalam Kenduri Sko, nilai-nilai gotong royong, kesetiaan terhadap adat, serta rasa hormat terhadap leluhur diwujudkan melalui berbagai simbol dan prosesi yang sarat makna.
Makna simbolik Kenduri Sko tercermin dalam setiap tahap kegiatan, terutama dalam prosesi pembersihan pusaka adat. Pusaka tersebut dianggap sebagai perwujudan sejarah panjang dan legitimasi sosial masyarakat adat. Dengan membersihkan pusaka, masyarakat bermaksud “membersihkan” diri secara spiritual dari hal-hal yang mengotori hubungan antarwarga, serta memperbarui komitmen terhadap nilai adat yang diwariskan.
Rangkaian Persiapan dan Kegiatan Pra-Acara
Menjelang pelaksanaan Kenduri Sko, masyarakat 6 Luhah memulai serangkaian kegiatan yang dikenal sebagai acara pengantar. Kegiatan ini berlangsung dalam suasana penuh kebersamaan dan kegembiraan. Warga dari berbagai usia dan latar belakang terlibat aktif dalam mempersiapkan berbagai keperluan adat.
Beberapa minggu sebelum hari pelaksanaan, masyarakat mengadakan gotong royong massal untuk membersihkan lingkungan, memperbaiki rumah adat, serta mempersiapkan tempat pelaksanaan kenduri. Kegiatan ini tidak sekadar bersifat fisik, tetapi juga memperkuat rasa solidaritas sosial. Dalam pandangan masyarakat adat, bekerja bersama-sama merupakan bentuk bakti kepada leluhur sekaligus simbol kesatuan komunitas.
Selain gotong royong, terdapat pula kegiatan latihan pencak silat tradisional yang diikuti oleh para pemuda. Pencak silat dalam konteks Kenduri Sko bukan hanya seni bela diri, tetapi juga sarana menanamkan nilai disiplin, hormat, dan tanggung jawab. Di samping itu, para perempuan dan remaja putri aktif berlatih tari iyo-iyo, sebuah tarian tradisional yang menjadi bagian dari penyambutan tamu dan pertunjukan budaya dalam acara puncak.

Dalam tahap persiapan ini juga dilakukan latihan parno adat, yaitu simulasi prosesi adat yang dipandu oleh para ninik mamak dan depati. Parno adat berfungsi untuk memastikan bahwa generasi muda memahami urutan, tata krama, dan ucapan adat yang akan diucapkan dalam upacara sebenarnya. Tradisi lisan seperti ini memiliki nilai pedagogis yang tinggi karena menjadi sarana transmisi pengetahuan budaya secara langsung dari generasi tua kepada generasi muda.

Setiap keluarga turut berpartisipasi dalam menyiapkan hidangan khas daerah, seperti lemang, rendang kerinci, gulai ikan semah, dan berbagai makanan tradisional lainnya. Hidangan ini bukan sekadar konsumsi, melainkan lambang kemurahan hati dan penghormatan terhadap tamu. Dengan demikian, seluruh rangkaian pra-acara Kenduri Sko menjadi arena pembelajaran sosial yang menyatukan seluruh lapisan masyarakat dalam satu tujuan: merayakan warisan budaya mereka.
Prosesi Utama Kenduri Sko
Pada hari pelaksanaan, suasana Sungai Penuh berubah menjadi lautan warna dan kehidupan. Rumah-rumah dihiasi dengan kain adat berwarna merah, hitam, dan kuning yang melambangkan keberanian, kebijaksanaan, dan kemakmuran. Para tamu datang dari berbagai daerah, termasuk perantau yang sengaja pulang kampung untuk ikut serta dalam perayaan ini.
Prosesi utama dimulai dengan pembersihan dan pengangkatan pusaka adat, yang merupakan inti dari Kenduri Sko. Pusaka yang disimpan secara turun-temurun ini dibersihkan menggunakan air bunga dan dupa, disertai pembacaan doa-doa adat oleh ninik mamak. Prosesi ini melambangkan penyucian nilai-nilai luhur dan pembaruan tekad masyarakat untuk menjaga warisan leluhur. Setelah pembersihan, pusaka dikembalikan ke tempat asalnya dalam upacara penuh penghormatan.
Selanjutnya, dilakukan pengangkatan anak laki-laki menjadi permantai dan depati. Prosesi ini menandai penerusan tanggung jawab kepemimpinan adat kepada generasi berikutnya. Pemilihan dilakukan melalui musyawarah keluarga besar, dengan mempertimbangkan moral, keturunan, dan pengabdian terhadap masyarakat. Momen ini menunjukkan bahwa struktur adat di Sungai Penuh tidak bersifat statis, melainkan terus diperbarui sesuai kebutuhan zaman tanpa meninggalkan prinsip aslinya.
Acara kemudian dilanjutkan dengan tari iyo-iyo dan pertunjukan pencak silat, yang menjadi simbol kekuatan dan keharmonisan masyarakat. Tarian ini biasanya dibawakan oleh para perempuan muda yang mengenakan busana adat berwarna cerah, diiringi musik tradisional seperti gendang, seruling, dan gong. Suasana menjadi meriah namun tetap khidmat, memperlihatkan keseimbangan antara hiburan dan penghormatan adat.
Puncak acara ditandai dengan jamuan kenduri besar. Dalam tradisi ini, semua warga duduk bersama tanpa memandang status sosial. Setiap keluarga membawa hidangan dari rumah masing-masing, lalu disajikan secara kolektif di balai adat. Prinsip kebersamaan ini menggambarkan filosofi “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”, yang menjadi dasar hubungan sosial masyarakat adat Kerinci.
Nilai-Nilai Budaya dan Fungsi Sosial Kenduri Sko
Kenduri Sko memiliki berbagai fungsi sosial dan budaya yang penting bagi masyarakat 6 Luhah. Pertama, tradisi ini berfungsi sebagai mekanisme pemeliharaan identitas kolektif. Di tengah perubahan sosial yang cepat, Kenduri Sko menjadi penanda jati diri yang mengikat warga dengan akar sejarah mereka. Melalui tradisi ini, masyarakat dapat merefleksikan kembali nilai-nilai yang membentuk kebersamaan dan solidaritas sosial.
Kedua, Kenduri Sko berfungsi sebagai wadah penguatan sistem sosial adat. Dalam struktur adat masyarakat Sungai Penuh, peran depati, ninik mamak, dan anak jantan memiliki fungsi masing-masing. Kenduri Sko memperkuat legitimasi posisi-posisi ini melalui prosesi pengukuhan yang dilakukan secara simbolik. Dengan demikian, tradisi ini juga menjaga keseimbangan sosial dan menghindari konflik dalam komunitas.
Ketiga, Kenduri Sko berfungsi sebagai media pendidikan budaya bagi generasi muda. Melalui keterlibatan langsung dalam latihan, prosesi, dan diskusi adat, anak-anak serta remaja belajar memahami sejarah, norma, dan nilai moral yang diwariskan. Mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pelaku budaya. Dalam konteks ini, Kenduri Sko berperan penting dalam proses regenerasi budaya.
Selain itu, Kenduri Sko juga memiliki fungsi ekonomi dan pariwisata. Perayaan ini menarik perhatian masyarakat luar, termasuk peneliti, wisatawan, dan pemerhati budaya. Aktivitas ekonomi lokal seperti perdagangan kuliner, kerajinan tangan, dan penginapan meningkat selama masa pelaksanaan. Meskipun demikian, masyarakat berupaya menjaga agar nilai-nilai sakral tradisi tidak tereduksi menjadi sekadar atraksi wisata.
Pendidikan Nilai dan Transfer Pengetahuan Adat
Salah satu aspek paling penting dalam pelaksanaan Kenduri Sko adalah proses pendidikan nilai yang terjadi secara alami di tengah masyarakat. Dalam budaya lisan seperti masyarakat 6 Luhah, pengetahuan adat ditransfer melalui pengalaman langsung, bukan melalui pendidikan formal. Anak-anak diajak untuk memahami makna setiap simbol, ucapan adat, serta peran sosial dalam upacara. Dengan demikian, mereka tumbuh dengan kesadaran budaya yang kuat.
Proses ini juga memperlihatkan konsep pendidikan kontekstual, di mana pembelajaran terjadi melalui partisipasi aktif dalam kehidupan sosial. Misalnya, seorang remaja yang ikut menabuh gendang dalam latihan tari iyo-iyo tidak hanya belajar musik, tetapi juga disiplin, kerja sama, dan nilai estetika budaya. Demikian pula, pemuda yang terlibat dalam gotong royong memahami arti kebersamaan dan tanggung jawab sosial.
Para tokoh adat memiliki peran sebagai pendidik informal yang menjaga kesinambungan tradisi. Melalui dialog dan nasihat, mereka menanamkan pemahaman bahwa adat bukan sekadar aturan, melainkan cara hidup yang mengajarkan keseimbangan antara manusia dan alam. Dengan begitu, Kenduri Sko menjadi “sekolah kehidupan” tempat nilai-nilai luhur diwariskan dengan cara yang alami dan bermakna.
Kenduri Sko di Era Modern: Tantangan dan Harapan
Dalam konteks modern, pelestarian tradisi seperti Kenduri Sko menghadapi berbagai tantangan. Arus globalisasi, urbanisasi, serta perubahan pola hidup menyebabkan sebagian generasi muda mulai menjauh dari kegiatan adat. Namun demikian, masyarakat 6 Luhah menunjukkan kesadaran kolektif untuk menjaga warisan budaya ini tetap hidup. Mereka menegaskan komitmen untuk melaksanakan Kenduri Sko secara rutin agar generasi mendatang tetap menghargai akar budaya mereka.
Upaya pelestarian juga dilakukan melalui dokumentasi dan promosi budaya. Pemerintah daerah bersama lembaga adat berencana menjadikan Kenduri Sko sebagai warisan budaya takbenda (WBTb) yang diakui secara nasional. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan perhatian publik sekaligus memberikan dukungan untuk menjaga kesinambungan tradisi.
Selain itu, integrasi nilai-nilai Kenduri Sko ke dalam pendidikan lokal menjadi langkah strategis. Dengan memasukkan materi tentang adat dan sejarah lokal dalam kurikulum sekolah, generasi muda dapat memahami makna tradisi bukan hanya sebagai tontonan, tetapi sebagai bagian dari identitas diri mereka.
Penutup
Kenduri Sko bukan hanya perayaan adat, melainkan refleksi dari filosofi hidup masyarakat 6 Luhah Sungai Penuh. Di dalamnya terkandung nilai kebersamaan, penghormatan terhadap leluhur, serta komitmen untuk menjaga keseimbangan sosial dan ekologis. Tradisi ini membuktikan bahwa budaya lokal memiliki daya lenting tinggi untuk bertahan di tengah perubahan zaman, asalkan masyarakat memiliki kesadaran untuk terus memeliharanya.
Melalui Kenduri Sko, masyarakat tidak hanya memperingati masa lalu, tetapi juga meneguhkan arah masa depan. Tradisi ini mengajarkan bahwa identitas kultural bukanlah warisan statis, melainkan sesuatu yang terus diperbarui dan dihidupkan melalui tindakan bersama. Selama nilai-nilai itu tetap dijaga, Kenduri Sko akan terus menjadi simbol kebanggaan dan sumber kekuatan bagi masyarakat Sungai Penuh serta generasi penerusnya. (A.N.U)

